Senin, 25 Agustus 2014

HUKUM RIBA DAN BUNGA BANK






Islam telah menetapkan hukum riba dan larangannya, termasuk di dalamnya praktek-praktek kapitalisme berupa bunga Bank, kartu kredit, kredit motor, kredit mobil, kredit barang-barang rumah tangga hingga KPR atau kredit perumahan. Semua praktek riba tersebut hukumnya haram, pelakunya dihinakan Allah jika tidak segera bertaubat, dasarnya sangat tegas terdapat dalam firman Allah SWT QS. Al Baqarah (2) ayat 275 :
ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌۭ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.

Hukum riba dan bunga bank hingga saat ini masih banyak kaum muslimin yang tidak faham. Sebagian mengatakan riba itu haram jika berlipat-lipat, dan sebagaian mengatakan seberapapun jumlah tambahan dari pinjaman itulah definisi riba. Ada yang mengatakan bahwa bunga bank itu tidak haram karena hanya kecil bunganya sehingga dianggap sebagai jasa penyimpanan saja.Bagaimana melihat fenomena pendapat dimasyarakat terkait hukum riba dan bunga bank? tulisan ini akan mencoba mengulasnya.

RIBA adalah sebuah fenomena yang telah mendunia. Praktek riba sudah dikenal sejak munculnya transaksi perdagangan dalam peradaban manusia ribuan tahun yang silam. Dalam masyarakat Yunani kuno kata riba dikenal dengan istilah “rokos” yang artinya keturunan makhluq organik (maksudnya bisa melahirkan mata uang baru ). Demikian pula persoalan riba sempat disinggung dalam kitab Taurat maupun Injil. Dan Al Qur’an dengan jelas memaparkan pandangannya mengenai riba.
            
Kedudukan persoalan ini yang mendapatkan perhatian penting setiap peradaban dan agama samawi mempunyai arti bahwa dosa riba telah menjadi borok peradaban manusia yang menggerogoti tubuhnya secara perlahan-lahan, yang mampu menghancurkan sendi-sendi peradaban, dan diperlukan tindakan preventif untuk menanggulangi bahkan untuk menghancurkan penyakit ini secara keseluruhan. Hal inilah yang menjadikan riba mendapat perhatian penting dalam setiap kurun dan peradaban manusia.
            
Namun masih banyak orang yang tidak mengetahui apa hakikat riba dan bagaimana Islam membasmi praktek-praktek riba dan yang sejenisnya dari akar-akarnya. Bagaimana kerasnya siksa yang ditimpakan Allah SWT kepada pelaku riba di akhirat kelak serta kehinaan yang mereka terima di dunia. Tidak ada masalah jahili­yah yang dinilai Islam begitu keji dan keharusan yang sangat untuk memberantasnya melebihi masalah riba ini. Dan tidak ada kemungkaran selain syirik yang begitu besar ancamannya melebihi kemungkaran riba.

 

Definisi Riba

            
Riba menurut bahasa berarti “tambahan”.Sedangkan menurut syara’, riba adalah “tambahan yang diperoleh dari seseorang yang meminjam (barang atau uang) dengan tempo atau batas waktu” . Menurut Ali bin Muhammad ad-Durjani, riba adalah tambahan yang tidak menjadi imbalan bagi sesuatu yang disyaratkan bagi salah seorang yang meminjam dan yang mem­beri pinjaman. Riba menurut istilah tadi barangkali terlalu sempit. Istilah yang lebih baik dikemukakan oleh Syaikh ‘Abdur­rahman  yaitu setiap tambahan pada salah satu pihak (dalam) aqad Mu’awwadhoh tanpa mendapat imbalan, atau tambahan itu dipe­roleh karena penangguhan.

            
Riba terdiri dari dua macam : riba nasiah dan riba fadhal.Akan tetapi menurut para ulama pengikut Syafi’i, riba terdiri atas tiga macam : riba fadhal yang di dalamnya termasuk riba qardh, riba nasiah, dan riba yad. Berdasarkan hal itu maka kita mengenal berbagai bentuk riba yang tercakup dalam empat kategori:
1. Riba Nasiah: memberi hutang kepada orang lain dengan tempo yang jika terlambat mengembalikan akan dinaikkan jumlah/nilainya sebagai tambahan atau sanksi.
2. Riba Fadhal: menukarkan barang yang sejenis tetapi tidak
sama keadaannya atau menukar barang yang sejenis tetapi berbeda nilanya.
3. Riba Qardh: meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan/keuntungan bagi pihak pemberi utang.
4. Riba Yadd: pihak peminjam dan yang meminjamkan uang/barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan timbang terima. Dalam keadaan demikian khawatir terjadi penyimpangan.
 
             
Riba Nasiah lebih terkenal dengan sebutan riba jahiliyyah, dimana seseorang memberi pinjaman kepada orang lain dan setiap bulan diambilnya tambahan tertentu jika melewati batas/temponya. Mengenai istilah riba jahiliyyah disinggung pada khutbah Rasulullah SAW pada saat Hijjatul Wada :
“… dan sesungguhnya riba jahiliyyah itu dihapuskan, dan bahwa­sannya riba yang pertama kali kuhapuskan adalah riba pamanku Abbas bin ‘Abdul Muthallib…”
            
Adapun hadits yang menyinggung riba fadhal diriwayatkan dari Abu Sa’id bahwasannya Rasulullah SAW bersabda :
Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, garam dengan garam, sama-sama dari tangan ke tangan. Barang siapa yang menambahkan atau meminta tambahan sungguh ia telah berbuat riba“. (HR. Bukhari dan Ahmad).

            
Tentang riba qardl, maka kita mengenal kaedah fiqih yang berkaitan dengan masalah ini.
“Setiap bentuk qardl (pinjaman) yang menarik manfaat (membuahkan bunga) adalah riba.” 10)
Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan uang dibalik pinjaman termasuk riba yang dilarang oleh syari’at Islam.
           
Mengenai riba yadd telah diriwayatkan bahwasannya Malik bin Aus bin Hadtsan mencari-cari orang yang dapat menukar uangnya 100 dinar, lalu datang Thalhah. Thalhah menjelaskan ciri-ciri ba­rangnya, sampai kemudian Malik mau menerimanya. Tatkala Thalhah mengambil uangnya (penukar 100 dinar) ia berkata: ‘Tunggu sampai orang yang membawa uangku (bendahara) di al-Ghaba (nama tempat dekat Madinah). Peristiwa ini kemudian didengar oleh Umar seraya berkata: ‘Tidak, demi Allah janganlah meninggalkannya sampai ia mengambil pembayarannya. ‘Rasululla saw telah bersabda: “Emas dengan perak adalah riba kecuali langsung serah terima, gandum dengan gandum adalah riba kecuali langsung serah terima, kurma dengan kurma adalah riba kecuali langsung serah terima, sya’ir dengan sya’ir adalah riba kecuali langsung serah terima.”

Peristiwa diatas menunjukkan bahwa pertukaran suatu barang dengan barang lainnya harus dilakukan saat itu juga. Pengunduran waktu serah terima dari salah satu pihak dapat menyebabkan adanya riba.
            
Berdasarkan pengertian beberapa macam istilah riba ini, maka dalam praktek perekonomian dewasa ini banyak sekali yang bisa dimasukkan dalam salah satu kategori tadi sesuai dengan pertumbu­han dan perkembangan aktifitas ekonomi, perdagangan dan keuangan yang meningkat dengan pesat. Oleh karena itu Rasulullah saw bersabda:
Riba itu mempunyai 73 macam tingkatan …..“(HR Ibnu Majah dan al-Hakim dari Ibnu Mas’ud dengan sanad shahih). Dalam hadits lain Rasulullah mengisyaratkan akan mun­culnya sekelompok manusia yang menghalalkan riba dengan dalih aspek perdagangan.
“Akan datang suatu saat nanti kepada umat ini tatkala orang-orang menghalalkan riba dengan dalih ‘perdagangan” (HR Ibnu Bathah dari al-Auza’i)
            
Ringkasnya,dengan melihat perkembangan perekonomian yang tumbuh dengan cepat maka definisi riba harus mencakup seluruh bentuk riba, baik yang ada di masa Jahiliah (seperti riba nasi’ah,riba fadhal, riba qardl dan riba yadd) maupun riba yang ada dimasa sekarang seperti riba bunga bank termasuk didalamnya bunga dalam pinjaman/kredit, infestasi, deposito, jual beli surat berharga, agio saham, penundaan dari salah satu pihak yang bera­qad dalam pertukaran mata uang maupun pengalihan rekening antar bank dan sebagainya. Jadi pengertian riba adalah tambahan dalam aqad dari salah satu pihak, baik dari segi uang, materi/barang, waktu maupun persyaratan lainnya tanpa ada usaha apapun dari pihak yang menerima tambahan tersebut.


Hukum Riba dan Tanggapan Atas pihak Yang Menghalalkannya

Al Qur’an telah menyinggung masalah riba dalam beberapa ayatnya. Dan sebagaimana diketahui bahwa pengharaman riba saat itu didahului beberapa ayat yang menunjukkan kekejian riba dan ancaman yang telah menimpa orang-orang Yahudi dahulu karena mereka sering mengambil riba dalam dagang dan utang-piutang, kemudian diturunkan satu ayat yang mengharamkan riba yang berli­pat ganda saja, … sampai ayat yang terakhir yang mengharamkan segala jenis dan bentuk riba, besar maupun kecil.
           
Ayat pertama yang diturunkan tentang riba adalah firman Allah SWT :
“Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan untuk menambah harta manusia, maka yang demikian itu tidak (berarti) bisa menambah di sisi Allah …” (QS.Ar Ruum:39).
Ayat ini diturunkan di Mekkah tetapi ia tidak menunjukkan isyarat apapun mengenai haramnya riba. Yang ada hanyalah isyarat keben­cian Allah SWT terhadap riba sekaligus peringatan supaya berhenti dari aktivitas riba.
            
Sedangkan ayat yang kedua adalah firman Allah SWT tentang tindakan Bani Israil yang menyebabkan kemurkaan Allah SWT. Bunyi ayat tersebut sebagai berikut :
“Maka lantaran kedzaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu, Kami haramkan atas mereka beberapa jenis makanan yang baik-baik*)yang sedianya dihalalkan kepada mereka. Dan lantaran perbuatan mereka yang menghalangi manusia dari jalan Allah yang banyak sekali itu serta mereka yang mengambil riba, padahal mereka telah dilarangnya”(QS. An Nisa : 160-161).
Ayat ini turun di Madinah kira-kira sebelum perang Qurayzah yang terjadi pada tahun ke V atau sebelum perang Bani An Nadlir pada tahun ke IV H. Ayat ini memberikan kepada kita kisah pela­jaran tentang tingkah laku Yahudi yang melanggar larangan Allah dengan melakukan praktek-praktek riba. Maka merekapun mendapat­kan laknat dari Allah SWT. Ayat ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan riba, sebab kaitannya dengan syari’at Bani Israil dan hanya menunjukkan bagaimana perilaku orang-orang Yahudi yang dilaknat Allah SWT. *) Makanan-makanan yang diharamkan tercantum dalam QS. Al An’am:146
            
Adapun ayat yang ketiga adalah firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman , janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda…” (QS. Ali’Imran:130)
Ayat ini diturunkan di Madinah dan mengandung larangan yang tegas yang mengharamkan salah satu jenis riba (Riba Nasiah). Berarti larangannya masih bersifat sebagian, belum menyeluruh. Penghara­man riba pada ayat ini hanya berlaku bagi praktek-praktek riba yang keji dan jahat, yang membungakan uang berlipat-lipat.
            
 
Ayat yang terakhir diturunkannya mengenai riba adalah ayat :

“Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggal­kanlah apa yang masih tersisa dari riba jika kamu orang-orang yang beriman…” (QS. Al Baqarah : 278).
Dengan turunnya ayat ini maka riba telah diharamkan secara menye­luruh, tidak lagi membedakan banyak maupun sedikit. Ayat ini dan tiga ayat berikutnya sekaligus merupakan ayat tentang hukum yang terakhir dan pemutus hubungan antara bumi dan langit.
             
Bagi kaum muslimin saat ini, yang hidup setelah Rasulullah SAW meninggalkan kita, maka hukum yang berlaku adalah hukum pada ayat yang terakhir, yang telah menasakh hukum pada ayat-ayat sebelumnya. Ayat di atas tadi menjelaskan bahwasanya riba diha­ramkan dalam segala bentuknya. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin mengenai keharamannya sebab hal ini telah ditetapkan berdasarkan Kitab Allah, Sunnah RasulNya, dan Ijma’ kaum muslimin termasuk madzhab yang empat. Dalam hal diharamkannya riba tidak ada perbedaan antara laki-laki, perem­puan, budak, maupun mukatib, semuanya sama. Hal ini telah dimaklumi oleh kaum muslimin sejak kurun yang pertama, dan mereka memasukkan riba ke dalam dosa/kemaksiatan yang besar, yang pelakunya akan mendapatkan adzab yang tak terpelakkan pedihnya di akhirat.
            
Memang pada akhir-akhir ini muncul segolongan di antara kaum muslimin yang membolehkan praktek-praktek riba, khususnya ten­tang bunga bank (intereast) yang telah membudaya dalam masyara­kat. Mereka membolehkan dengan alasan darurat, dan mengungkap­kan bahwa pada saat ini ummat tidak akan dapat melakukan aktivi­tas ekonomi tanpa terkait deangan bunga atau bank. Jadi tidak ada jalan lain kecuali membolehkannya.
           
Alasan seperti ini tampaknya alasan klise untuk menjustifik­asi apa yang telah mereka lakukan. Lagi pula terminologi daru­rat dalam syariat Islam adalah seperti yang dikemukakan oleh Imam Suyuthi
“Sampainya seseorang pada batas suatu keadaan yang jika orang tersebut tidak melakukan hal-hal yang dilarang maka ia akan binasa (rusak atau mati-pen) atau mendekatinya”.

Maka muncul pertanyaan apakah keadaan saat ini sudah sampai kepada situasi dan kondisi seperti itu? Kalau misalnya hal ini bisa diterima maka tentu saja yang nama nya darurat itu ada batas dan masanya, tidak akan berlaku selamanya. Berarati bila ada seseorang menderita kelaparan yang tidak mendapatkan jalan lain kecuali deangan meminjam uang dari bank, dengan ketentuan riba, maka ia dibolehkan membayar uang bunga tersebut sampai penderitaannya berlalu. Akan tetapi dasar tersesbut tidak bisa diterima untuk kebutuhan sekunder selain dari makanan dan minuman. Berdasarkan alasan tadi maka dalih yang dibuat oleh segolongan umat yang maenghalalkan praktek riba tidak bisa diterima.
            
Sebagian kaum musllimin yang imannya lemah berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang keji, yang menarik bunga sangat tinggi dan dapat mencekik leher manusia. Adapaun riba yang sedikit tidaklah haram dengan alasan QS. Ali Imran (3) :130 di atas.
           
Dalam al-qur’an lafadz ‘adl ‘afan mudloafah ‘(berlipat ganda) berfungsi sebagai ‘waqi’atul ‘ain, yaitu suatu penjelasan atas peristiwa yang pernah terjadi di masa jahiliah dan menun­jukkan betapa kejahatan yang mereka lakukan.  Dan bagi mereka yang masih awwam tentang agama dan tidak mau mengerti mengenai hukum Islam, apakah mereka tidak beriman kepada seluruh ayat Al-Qur’an, apakah mereka kufur terhadap sebagian ayat dan beriman terhadap sebagian yang lain? Mengapa justru ayat itu yang dipakai sebagai alasan bukan ayat Qs.Al-Baqarah :275 dan 278, yang telah menghapus hukum yang sebelumnya.
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Qs. 2 :275)
“…….takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apayang tersisa dari riba…..” (Qs. Al-Baqarah :278)
            
Yang lebih parah adalah munculnya segolongan diantara kaum muslimin yang mengatakan riba untuk tujuan produktif adalah boleh, dengan alasan riba yang dilarang sebagaimana dimasa jahili­ah adalah untuk keperluan konsumtif.
           
Alasan seperti ini terlalu dibuat-buat, mencerminkan sifat-sifat orang munafik dan orang-orang yahudi yang senantiasa men­cari-cari alasan untuk membenarkan tindakan mereka. Lafadz Riba ( ) bermakna umum, Huruf alifdan lam didepan menunjukkan sifat lil jins atau lil istighraq yang melukiskas keumumannya. 20) Berdasarkan pengertian ini maka lafadz riba berarti mencakup baik yang konsumtif maupun yang produktif, keduanya termasuk riba yang diharamkan. Untuk mengeluarkan atau mengecualikan hukum-hukum dari lafadz yang bersifat umum diperlukan dalil-dalil yang lain yang mentakhsiskan keumuman ini. Dalam masalah riba tidak ada satu nashpun yang mentakhsiskan hukumdari ayat-ayat tentang riba, sehingga hukum riba berlaku sesuai dengan keumuman lafadz­nya.
 
 
Ancaman Terhadap Pelaku Riba
A. Ancaman dari al-Qur’an.
1. Dalam QS. Al Baqaah ayat 275 :
“Orang-orang yang memakan harta riba itu tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syethan, lanta­ran (tekanan) penyakit gila…” (Qs. al-Baqarah :275).
Orang yang melakukan praktek-praktek riba, kelak dihari kiamat perilakunya bagaikan orang yang kesurupan syethan yang tercekik.21). Abdullah bin Abas menerangkan mengenai ayat ini bahwasannya kelak di hari kiamat akan dikatakan kepada para pemakan riba:’Angkatlah senjatamu untuk berperang’.
Muhammad Ali Ash-Shobuni lebih lanjut menerangkan dalam tafsirnya
“Dipersamakannya pemakan riba dengan orang-orang yang kesurupan adalah suatu ungkapan yang halus sekali, yaitu Allah memasukkan riba kedalam perut mereka lalu barang itu memberatkan mereka, sehingga sempoyongan, jatuh bangun. Hal ini menjadi ciri-ciri mereka dihari kiamat sehingga semua orang mengenalnya”.
2.Firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 279 :
“Kemudian jika kamu tidak mau mengerjakan (meninggalkan riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (Qs:Al-BAqarah:279)
Maksud dari ayat ini bahwasannya apabila seseorang tidak mau meninggalkan aktifitas riba,maka ketahuilah baginya berhak untuk diperangi didunia dan diakhirat kelak akan dilempar kedalam api neraka,karena melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya.
Lafadz ‘harbun'( ) dengan bentuk nakiroh adalah untuk menun­jukkan besarnya masalah ini,lebih-lebih dengan menisbatkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Seolah-olah Allah memaklumkan :
‘Percayalah akan ada suatu peperangan yang dahsyat dari Allah dan Rasul-Nya yang tidak mungkin dapat dikalahkan. Hal ini mengisya­ratkan akibat akibat yang paling mengenaskan yang pasti akan dialami oleh para pemakan riba.25) Adapun lafadz ‘kaffar'( ) dan ‘Atsim'( ) yang termasuk sighot mubalaghoh,yang artinya menunjukkan banyak kekufuran dan banyak berbuat dosa (dalam Qs al-Baqarah :276) melukiskan bahwa keharaman riba itu keras seka­li, termasuk perbuatan orang-orang kafir dan bukan perbuatan orang-orang Islam
           
Barang siapa yang merenungkan makna ayat-ayat tadi dengan segala kandungannya seperti gambaran yang akan menimpa para pemakan riba,orang yang menghalalkannya, maka dia akan mengetahui betapa keadaan mereka kelak di akhirat. Mereka akan dikumpulkan dengan keadaan gila dan kesurupan, kekal di neraka,dipersamakan dengan orang kafir, akan mendapatkan perlawanan dari Allah dan Rasul-Nya yang mustahil terkalahkan. Itulah balasan mereka yang masih melakukan praktek-praktek riba termasuk orang-orang yang menghalalkannya. Na’udzubillahi min dzalika.
 
B. Ancaman Dari Hadits dan Pendapat Shahabat
            Tidak ada seorang muslimpun yang tidak mengetahui bahwa melakukan riba adalah sesuatu yang terlarang dan harus dihindari. Bahkan riba termsuk salah satu dosa besar. Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
“Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan ….(salah satunya adalah) memakan riba ….” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, orang yang melakukan riba akan mendapatkan laknat dari Allah, sebagaimana diriwayaatkan dari Jabir bahwasa­nyaRasuilullah SAW telah melaknat orang yang memakan riba, yang memberi makan, penulisnya dan dua orang saksinya. Dan beliau bersabda mereka itu sama.” (HR. Muslim, dan Bukhari dri Abi Juhaifah).
            
Di dalam hadits-hadits yang lain dinyatakan bahwa perbuatan riba lebih menjijikkan dari pada perbuatan zina. Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi SAW bersabda:
 “Riba itu mempunyai 73 pintu (dosa), sedangkan yang paling ringan adalah seperti seseorang yang bersetubuh dengan ibunya …” (HR. Ibnu Majah dan Al Hakim).
“Satu dirham yang diproleh seseorang dari hasil riba lebih besar dosanya 36 kali dari perbuatan zina dalam Islam”, (HR. Baihaqi dariAnas bin malik)
            
Dalam menanggapi QS. Al Baqarah(2):275 Abdullah bin Abbas ra. berkata :
“Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Khalifah) untukmenasihati orang-orang tersebut. Jika mereka masih tetapkeras kepala, maka seorang Imam dibolehkan untuk memenggal lehernya

Menurut Muhammad Ali Sais, jika seseo­rang melakukan riba tetapi tidak taubat, maka seorang Imam harus menghukumnya deng ahukuman ta’zir.
            
Berdasarkan keterangan di atas apabila Daulah Islam telah berdiri, maka praktek-prektek riba apapun bentuk dan namanya harus dihapuskan. Orang yang masih melakukan riba akan menghada­pi sanksi yang sangat keras di dunia, dan di akhirat kelak akan mendapatkan dirinya dilempardan kekal di neraka. Abu Hurairah ra. berkata bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
“Tatkala malam aku di mi’rajkan, aku melihat suatu kaum yang perut mereka bagai­kan rumah, tampak di dalamnya ular-ular berjalan keluar, lalu aku bertanya;”Siapakah mereka itu wahai Jibril ?” Jawab Jibril,”Mereka adalah para Pemakan riba”.
            
Barangkali ada baiknya jika Kita meneladani bagaimana sikap para shahabat dalam menghadapi persoalan ini. Diriwayatkan bahwa Umar ra. berkata : “Diantara ayat-ayat yang terakhir turunnya adalah ayat tentang riba, dan Rasulullah meninggal dunia sebelum menerangkan perinciannya kepada kami, oleh karena itu tinggalkan­lah riba dan setiap hal yang meragukan”.
            




Bagi kaum muslimin yang telah mengetahui persoalan ini hendaknya bertindak sami’na wa atho’na, kami dengar dan kami mentaatinya, oleh karena haramnya riba telah sampai kepada kita.
 
Tidak ada hak bagi seorangpun untuk mencari-cari alasan guna menghindari haramnya riba dan tidak ada dalil sedikitpun yang membolehkan persoalan ini dari keharamannya. Tidak ada seruan yang paling baik dalam masalah ini selain apa yang diser­ukan Allah dan Rasulul-Nya. Tidak ada ketaatan terhadap mahluq dalam hal melanggar persoalan-persoalan yang melanggar ketentuan Alloh dan Rasul-Nya.
Wahai kaum Muslimin tidakkah kalian memba­yangkan betapa dahsyatnya balasan bagi para pelaku riba, pedihnya siksaan yang akan mereka alami dan sepanjang hidupnya mendapatkan la,nat daro Allah dan Rasulnya ? Dan tidakkah kalian perhatikan bagaimana dalam ayat riba pada akhirnya Allah memperingatkan kepada kita :
Dan peliharalah dirinmu (dari adzab) pada suatu hari, dimana kamu sekalian akan dikembalikan kepada Allah di hari itu, kemud­ian masing-madsing jiwa akan dibalas dengan sempurna apa yang telah dikerjakannya itu dan mereka tidak akan dianiaya“. (Qs. Al-Baqarah 281)







Jumat, 22 Agustus 2014

KEUTAMAAN SHOLAT TAHAJJUD



Sholat Tahajud adalah shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari sesudah mengerjakan shalat Isya sampai terbitnya fajar dan sesudah bangun dari tidur, meskipun itu hanya sebentar.

Hukum Shalat Tahajjud adalah Sunnat Mu’akkad, Yaitu : Sunnat yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan, karenanya maka Rasul SAW sangat menganjurkan kepada para umatnya untuk senantiasa mengerjakan shalat Tahajud. Menurut para ulama, bilangan rakaat shalat Tahajud itu sekurang-kurangnya adalah dua rakaat, dan sebanyak-banyaknya tidak terbatas. Dikerjakan setiap dua rakaat


Ayat Al-Quran dan Hadits yang menganjurkan untuk Shalat Tahajud.

Allah SWT berfirman yang artinya:

“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.Dan orang yang melalui malam hari dengan sujud dan berdiri untuk Tuhan mereka”

Rasulullah SAW bersabda :

“Kerjakanlah shalat malam, karena shalat malam itu kebiasaan orang-orang yang shaleh sebelum kamu dahulu, juga suatu jalan untuk mendekatkan diri kepada TUHAN kalian, juga sebagai penebus pada segala kejahatan (dosa) mencegah dosa serta dapat menghindarkan penyakit dari badan (HR.Imam Tarmidji & Ahmad)


Allahumma lakalhamdu annta nuurussamaawaati wal’ardhi wa manfiihinna wa lakalhamdu annta, wa lakalhamdu annta qayyimussamaawaati wal’ardhi wa manfiihinna, wa lakalhamdu annta rabbussamaawaati wal’ardhi wa manfiihinna, wa lakalhamdu annta mulkussamaawaati wal’ardhi wa manfiihinna, wa lakalhamdu annta malikussamaawaati wal’ardhi wa manfiihinna, wa lakalhamdu anntalhaqq wa wa’dukalhaqq, wa liqaa’uka haqq, wa qauluka haqq, waljannatu haqq, wannaaru haqq, wannabiyuuna haqq, wa muhammadun shallallaahu ‘alaihi wa sallam haqq, wassaa’atu haqq. Allaahumma laka aslamtu wa ‘alaika tawakkaltu wa bika aamanntu wa ilaika anabtu wa bika khaashamtu wa ilaika haakamtu faghfirlii maa qaddamtu wa maa akhkhartu wa maa asrartu wa maa a’lantu, anntalmuqaddimu wa anntalmu’akhkhiru laa ilaaha illaa annta anta ilaahii laa ilaaha illaa annta.

Artinya:

“Ya, Allah! Bagi-Mu segala puji, Engkau cahaya langit dan bumi serta seisinya. Bagi-Mu segala puji, Engkau yang mengurusi langit dan bumi serta seisinya. Bagi-Mu segala puji, Engkau Tuhan yang menguasai langit dan bumi serta seisinya. Bagi-Mu segala puji dan bagi-Mu kerajaan langit dan bumi serta seisi-nya. Bagi-Mu segala puji, Engkau benar, janji-Mu benar, firman-Mu benar, bertemu dengan-Mu benar, Surga adalah benar (ada), Neraka adalah benar (ada), (terutusnya) para nabi adalah benar, (terutusnya) Muhammad adalah benar (dari-Mu), peristiwa hari kiamat adalah benar. Ya Allah, kepada-Mu aku pasrah, kepada-Mu aku bertawakal, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku kembali (bertaubat), dengan pertolongan-Mu aku berdebat (kepada orang-orang kafir), kepada-Mu (dan dengan ajaran-Mu) aku menjatuhkan hukum. Oleh karena itu, ampunilah dosaku yang telah lalu dan yang akan datang. Engkaulah yang mendahulukan dan mengakhirkan, tiada Tuhan yang hak disembah kecuali Engkau, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang hak disembah kecuali Engkau”.




Untuk tata cara sholat tahajjud sama dengan shalat sunah lainnya atau shalat dua Rakaat dengan niat sebagai berikut :


Ushollii sunatan Tahajudi rok'ataini mustaqbilal qiblati adaa-an  lillaahi ta'aalaa.

Artinya :
"Niat aku sholat sunah tahajud dua raka'at menghadap qiblat  karena Allah".

DOSA BERGOSIP DAN CARA MENGHINDARINYA






Ghibah (mengumpat) adalah membicarakan orang lain tentang kekurangan-kekurangan yang ada pada badan, nasab, tabiat, ucapan, maupun agama hingga pada pakaian, rumah, atau harta miliknya yang lain, yang apabila orang tersebut mendengarnya maka ia akan berasa tidak senang (tidak redha).
Menurut blog itu, di dalam sekelompok orang yang sedang dalam perbincangan, kita sering menemui pembicaraan yang mengarah kepada kejelekan seseorang, entah yang memulai pembicaraan itu kita atau orang lain yang ada dalam sekelompok itu. Yang jelas apabila kita ikut serta di dalam memperbincangkan kejelekan orang tersebut maka kita telah berbuat ghibah yang dalam Al-Qur’an dan hadits diterangkan perbuatan itu adalah terlarang (haram).

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat:12)

Allah berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu mengumpat sebahagian yang lain.” Ayat ini mengandung larangan berbuat ghibah. Dan telah ditafsirkan pula pengertiannya oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Abu Hurairah r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan ghibah itu?” Rasulullah menjawab, “Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya.”

Ditanyakan lagi, “Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?” Rasulullah SAW menjawab, “Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan maka kamu telah berdusta.”
Ghibah adalah haram berdasarkan ijma’. Tidak ada pengecualian mengenai perbuatan ini kecuali bila terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti penetapan kecacatan oleh perawi hadits, penilaian keadilan, dan pemberian nasihat. Sedangkan selain itu tetap dalam pengharaman yang sangat keras dan larangan yang sangat kuat. Itulah sebabnya Allah SWT menyerupakan perbuatan ghibah dengan memakan daging manusia yang sudah menjadi bangkai.  Astaghfirullah…

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Setiap harta, kehormatan, dan darah seorang muslim adalah haram atas muslim lainnya. Cukup buruklah seseorang yang merendahkan saudaranya sesama muslim.”

Astaghfirullah….Ya Allah ampunkanlah aku sekiranya aku telah melakukan dosa ghibah di dalam hidupku, walaupun aku sekadar mendengar, berdiam diri dan mengiakan. Ya Allah, hapuskanlah juga apa-apa prasangka burukku terhadap orang lain, walau sekecil zarah sekalipun. Amin

 
Cara agar kita menjauhkan diri dari ghibah:
1. Pertama mengidentifikasi apakah apa yang dibicarakan itu termasuk ghibah atau bukan. Caranya mudah, yaitu seandainya orang yang kita bicarakan kekurangannya itu mendengar apa yang kita bicarakan, jika dia merasa tidak senang maka kita telah berbuat ghibah.

2. Setelah mengetahui haramnya ghibah maka berusahalah semaksimal mungkin untuk menjauhinya yaitu dengan menyeleksi apa yang akan kita katakan, atau menelaah ulang apa yang telah kita katakan. Apabila kita ketahui apa yang akan kita katakan itu tergolong ghibah, maka tahanlah untuk mengatakannya. Atau apabila kita kemudian menyadari apa yang telah kita katakan itu adalah ghibah, maka sesegera mungkin bertobat (astaghfirullah) dan bertekad lagi untuk lebih hati-hati dalam berbicara.

3. Telaah, renungkan, dan yakinkan diri sendiri bahwa dengan membicarakan kejelekan orang lain maka tidak akan menambah derajat kita dan tidak akan menurunkan derajat orang yang kita bicarakan kejelekannya. Justru orang yang suka berbuat ghibah akan mudah untuk tidak dipercaya orang lain, dan hatinya pun tidak akan tenteram.

4. Sadarilah bahwa seseorang yang kita bicarakan kejelekannya itu adalah saudara kita sendiri, bukan musuh yang harus dihujat. Sekiranya seseorang tersebut melakukan perbuatan tercela atau yang kurang berakhlak maka sesungguhnya dia belum mengetahui tentang ilmu, maka kita seyogyanya ikut menunjukinya kepada jalan yang lurus bukannya malah meng-ghibahnya.

5. Jika kita diajak membicarakan kejelekan orang lain oleh seseorang maka berusahalah untuk menghentikannya secara bertahap dengan ma’ruf tanpa menyinggung perasaannya. Pertama ingatkanlah secara lisan bahwa kita dilarang berbuat ghibah. Jika belum berhenti, maka kita bisa menanggapi seperlunya kemudian berusaha mengalihkan kepada pembicaraan yang lebih baik. Jika sekiranya kedua upaya itu belum menghentikannya berbuat ghibah maka diamlah kemudian berdoa supaya kita dan orang tersebut sama-sama dijauhkan dari perbuatan ghibah.
Ini adalah peringatan untuk diriku jua.  Inshaallah, sama-samalah kita saling  ingat-mengingatkan, nasihat-menasihati untuk sama-sama kita memperbaiki diri, menambah ilmu dan memperkukuhkan keimanan.

Rabu, 20 Agustus 2014

AGAR DOA KITA TERKABUL


Ya Allah, Hanya Kepada-Mu lah Kami Memohon …
Banyak banget kan hal di dunia ini yang tidak semuanya bisa kita lakukan sendiri. Kita pasti butuh pertolongan dari orang lain. Apalagi masalah akhirat, wah ga usah ditanya kita juga ngerti kalo Allah lah yang bisa menolong kita. Makanya Islam mengajarkan agar kita berdoa. Allah Ta’ala berfirman, 



وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah : 186)

Lalu gimana caranya biar kita doa kita terkabul? Berikut beberapa kiat agar do’a kita terkabul.
1. Ikhlas
Keikhlasan merupakan poros semua amalan dan ibadah, termasuk dalam berdoa.  Doa orang yang ikhlas, akan lebih didengar dan diperhatikan oleh Allah. Allah Subhanahu wa ta’alla berfirman,

ادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Ghafir : 14).

Dari Abdurrahman bin Yazid bahwa dia berkata, “Ar-Rabii’ datang kepada ‘Alqamah pada hari jumat dan jika saya tidak ada dia akan memberikan kabar kepada saya, lalu ‘Alqamah bertemu dengan saya dan berkata, ‘Bagaimana pendapatmu tentang apa yang dibawa oleh Rabii’?’ Dia menjawab, ‘Berapa banyak orang yang berdoa tetapi tidak dikabulkan? Karena Allah tidak menerima kecuali doa yang ikhlas.’ Saya berkata, ‘Bukankah itu telah dikatakannya?’ Dia berkata, ‘Abdullah mengatakan bahwa Allah tidak mendengar doa seseorang yang berdoa karena sum’ah, riya’, dan main-main, tetapi Allah menerima doa orang yang berdoa dengan ikhlas dari lubuk hatinya.” (HR. Bukhari)

2. Tidak berdoa untuk sesuatu yang dosa dan memutus silaturahim
Dari Abu Said, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »
  Kata Syaikh Al-Mubarakfuri yang dimaksud “tidak berdoa untuk sesuatu yang berdosa” artinya berdoa untuk kemaksiatan seperti, “Ya Allah, takdirkan aku untuk bisa membunuh si fulan”, sementara si fulan itu tidak berhak dibunuh atau “Ya Allah, berilah aku rizki untuk bisa minum khamr”. Atau berdoa untuk memutus silaturahim. Suatu contoh, “Ya Allah, jauhkanlah aku dari bapak dan ibuku serta saudara-saudaraku”. Doa tersebut merupakan bentuk pengkhususan terhadap yang umum. Imam Al-Jazri menjelaskan bahwa memutus silaturahim bisa berupa tidak saling menyapa, saling menghalangi, dan tidak berbuat baik dengan semua kerabat dan keluarga.


3. Hendaknya makanan dan pakaian dari yang halal dan bagus
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menyebutkan, “ Seorang lelaki yang lusuh lagi kumal karena lama bepergian mengangkat tangan ke langit tinggi-tinggi dan berdoa, ‘Ya Rabbi, ya Rabbi sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dagingnya tumbuh dari yang haram, maka bagaimanakah doanya bisa terkabulkan ?” (HR. Muslim)
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud lama bepergian dalam rangka beribadah kepada Allah seperti haji, ziarah, silaturahim dan yang lainnya. Wuzzz….ngeri kan. Yang bepergian untuk kebaikan aja bisa ditolak, apalagi yang berbuat maksiat. Makanya jaga diri dari makanan, minuman, pakaian haram serta jauhi perbuatan yang tidak disukai Allah.

4. Tidak tergesa-gesa dalam menunggu terkabulnya doa
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Akan dikabulkan permintaan seseorang di antara kamu selagi tidak tergesa-gesa, yaitu ia mengatakan, ‘Saya telah berdoa tetapi belum dikabulkan’.” (Mutaffaqun ‘alaih)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Yang dimaksud dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Saya berdoa tetapi tidak dikabulkan’, yaitu seseorang bosan berdoa lalu meninggalkannya, seakan-akan mengungkit-ungkit dalam doanya atau mungkin dia berdoa dengan baik sesuai dengan syaratnya, tetapi bersikap bakhil dalam doanya dan menyangka Allah tidak mampu mengabulkan doanya, padahal Allah adalah Dzat Yang Maha Mengabulkan doa dan tidak pernah habis pemberian-Nya.”

Syaikh Al-Mubarafakturi menjelaskan bahwa Imam Al-Madzhari berkata, “Barangsiapa yang bosan dalam berdoa, maka doanya tidak terkabulkan sebab doa adalah ibadah, baik dikabulkan atau tidak, seharusnya seseorang tidak boleh bosan beribadah. Tertundanya permohonan boleh jadi belum waktunya doa itu dikabulkan karena segala sesuatu telah ditetapkan waktu terjadinya. Sehingga, segala sesuatu yang belum waktunya tidak akan mungkin terjadi.

Atau boleh jadi permohonan tersebut tidak terkabulkan dengan tujuan Allah mengganti doa tersebut dengan pahala, atau boleh jadi doa tersebut tertunda pengabulannya agar orang tersebut rajin berdoa. Sebab Allah sangat senang terhada orang yang rajin berdoa, karena doa memperlihatkan sikap yang rendah diri, menyerah, dan merasa membutuhkan Allah. Orang yang sering mengetuk pintu akan segera dibukakan pintu dan begitu pula orang yang sering berdoa akan dikabulkan doanya.

Allah berfirman,

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Ku perkenankan bagimu.” (QS. Ghafir : 60)
Banyak orang yang berdoa tetapi tidak dikabulkan, seandainya ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya (tekstualnya) pasti tidak mungkin doa tersebut ditolak. So, lalu apa maksudnya ?

Dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا عَلَى الأَرْضِ مُسْلِمٌ يَدْعُو اللَّهَ بِدَعْوَةٍ إِلاَّ آتَاهُ اللَّهُ إِيَّاهَا أَوْ صَرَفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا
Tidak ada seorang muslim di dunia berdoa memohon suatu permohonan melainkan Allah pasti akan mengabulkan atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisal.” (HR. Tirmidzi, hasan shahih)

5. Hendaknya berdoa dengan hati yang khusyu’ dan yakin doanya pasti akan dikabulkan
Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
Berdoalah kepada Rabb-mu dengan tadharru (berendah diri) dan suara yang lembut” (QS Al-A’raf : 55)

Dari Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hati itu laksana wadah dan sebagian wadah ada yang lebih besar dari yang lainnya. Apabila kalian memohon kepada Allah  maka mohonlah kepada-Nya sedangkan kamu merasa yakin akan dikabulkan, karena sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR Ahmad)

Syaikh Al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan kalian yakin akan dikabulkan” adalah pengharusan. Artinya, berdoalah sementara kalian bersikap dengan sifat yang menjadi sebab terkabulnya doa. Imam Al-Madzhari menjelaskan bahwa hendaknya orang yang berdoa merasa yakin bahwa Allah akan mengabulkan doanya.
Sedangkan yang dimaksud “hati yang lalai” adalah hati yang berpaling dari Allah atau berpaling dari yang dimintanya.

Seandainya ada yang mengatakan, sebagian ada doa yang terkabul dan sebagian yang tidak maka bagaimana kita bisa yakin? Jawabannya, bahwa orang yang berdoa pasti akan dikabulkan dan permintaannya pasti akan diberikan kecuali bila dalam catatan azali Allah doa tersebut tidak dikabulkan. Akan tetapi, mungkin dia akan dihindarkan dari musibah semisalnya, diganti pahala, atau ditinggakan derajat di akhirat.
6. Memanfaatkan waktu yang utama untuk berdoa
Allah menciptakan waktu dengan kemuliaan yang berbeda-beda. Itulah sebabnya Allah bersumpah atas keberadaan jenis waktu yang berbeda. Ada waktu demi masa, demi waktu dhuha, demi malam, demi siang, dsb. 



Adapun waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa di antaranya :
a.       Sepertiga malam terakhir
b.      Tatkala berbuka puasa bagi orang yang berpuasa
c.       Setiap selesai shalat fardhu
d.      Pada saat perang berkecamuk
e.      Sesaat pada hari jumat
f.        Pada waktu bangun tidur pada malam hari bagi orang yang sebelum tidur dalam keadaan suci dan berdzikir pada Allah
g.       Di antara adzan dan iqomah
h.      Pada waktu sujud dalam shalat
i.         Saat sedang turun hujan
j.        Saat ajal tiba
k.       Malam lailatul qadr
l.         Pada hari arafah
The last, janganlah bersedih bila doa kita belum terkabul. Yang pasti jangan menyerah untuk selalu berdoa. Yakinlah bahwa skenario Allah tak pernah salah.

Penulis: Ummu Ali
Muroja’ah: M.A. Tuasikal

KEUTAMAAN ZAKAT INFAQ DAN SHADAQAH




Zakat merupakan salah satu pilar dari pilar islam yang lima, Allah SWT. telah mewajibkan bagi setiap muslim utk mengeluarkannya sbgpenyuci harta mereka, yaitu bagi mereka yg telah memiliki harta sampai nishab (batas terendah wajibnya zakat) & telah lewat atas kepemilikan harta tersebut masa haul (satu tahun bagi harta simpanan & niaga, atau telah tiba saat memanen hasil pertanian).
Banyak sekali dalil-dalil baik dari al-quran maupun as-sunnah sahihah yg menjelaskan tentang keutamaan zakat, infaq & shadaqah. Sebagaimana firman Allah taala yg berbunyi:
Sesungguhnya orang-orang yg beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat & menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka & tdk (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. Al Baqarah : 277 ).


Juga firman-Nya:
Dan sesuatu riba (tambahan) yg kamu berikan agar dia bertambah pd harta manusia, maka riba itu tdk menambah pd sisi Allah. Dan apa yg kamu berikan berupa zakat yg kamu maksudkan utk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yg melipat gandakan (pahalanya). (Q.S. Ar Ruum : 39 ) .
Orang-orang yg menafkahkan hartanya di malam & di siang hari secara tersembunyi & terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka & tdk (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. Al Baqarah : 274 ) .


Dalam ayat lain Allah taala berfirman:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dgn zakat itu kamu membersihkan & mensucikan mereka & mendoalah utk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. At Taubah : 103 ) .

Adapun hadist-hadits Nabi yg menjelaskan akan keutamaannya antara lain :
عن أبي هريرة  أن أعرابياً أتى النبي  فقال: يا رَسُول اللَّهِ! دلني على عمل إذا عملته دخلت الجنة. قال: (تعبد اللَّه لا تشرك به شيئاً، وتقيم الصلاة، وتؤتي الزكاة المفروضة، وتصوم رمضان) قال: والذي نفسي بيده لا أزيد على هذا. فلما ولى قال النبي  : (من سره أن ينظر إلى رجل من أهل الجنة؛ فلينظر إلى هذا) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.

Dari Abu Huraira radhiyallahu `anhu bahwa seorang Arab Badui mendatangi Nabi shallallahu `alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah! beritahu aku sesuatu amalan, bila aku mengerjakannya, aku masuk surga?”, Beliau bersabda : “Beribadahlah kpd Allah & jangan berbuat syirik kepada-Nya, dirikan shalat, bayarkan zakat yg diwajibkan, & berpuasa di bulan Ramadhan,” ia berkata, “Aku tdk akan menambah amalan selain di atas”, tatkala orang tersebut beranjak keluar, Nabi shallallahu `alaihi wasallam bersabda : “Siapa yg ingin melihat seorang lelaki dari penghuni surga maka lihatlah orang ini”. Muttafaq ’alaih.

Allah SWT, adl Dzat yg Maha Suci & tdk akan menerima kecuali hal-hal yg suci & baik, demikian juga shadaqah kecuali dari harta yg suci & halal.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عن أبي هريرة  قال : قال رَسُول اللَّهِ  : ( من تصدق بعدل تمرة من كسب طيب- ولا يقبل اللَّه إلا الطيب-؛ فإن اللَّه يقبلها بيمينه، ثم يربيها لصاحبها كما يربي أحدكم فُلُوَّهُ ، حتى تكون مثل الجبل) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Dari Abu Huraira radhiyallahu `anhu , ia berkata : “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda : “Siapa yg bersedekah dgn sebiji korma yg berasal dari usahanya yg halal lagi baik (Allah tdk menerima kecuali dari yg halal lagi baik), maka sesungguhnya Allah menerima sedekah tersebut dgn tangan kanan-Nya kemudian Allah menjaga & memeliharnya utk pemiliknya seperti seseorang di antara kalian yg menjaga & memelihara anak kudanya. Hingga sedekah tersebut menjadi sebesar gunung.” Muttafaq ’alaih.

Zakat, infaq & shadaqah memiliki fadhilah & faedah yg sangat byk , bahkan sebagian ulama telah menyebutkan lbh dari duapuluh faedah, diantaranya:
  1. Ia bisa meredam kemurkaan Allah, Rasulullah SAW, bersabda: ” Sesunggunhnya shadaqah secara sembunyi-sembunyi bisa memadamkan kemurkaan Rabb (Allah)” (Shahih At-targhib)
  2. Menghapuskan kesalahan seorang hamba, beliau bersabda: “Dan Shadaqah bisa menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api” (Shahih At-targhib)
  3. Orang yg besedekah dgn ikhlas akan mendapatkan perlindungan & naungan Arsy di hari kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tujuh kelompok yg akan mendapatkan naungan dari Allah pd hari yg tdk ada naungan kecuali naungan-Nya diantaranya yaitu: “Seseorang yg menyedekahkan hartanya dgn sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tdk mengetahui apa yg diinfakkan oleh tangan kanannya.” (Muttafaq ‘alaih)
  4. Sebagai obat bagi berbagai macam penyakit baik penyakit jasmani maupun rohani. Rasulullah saw, bersabda: “Obatilah orang-orang yg sakit diantaramu dgn shadaqah.” (Shahih At-targhib) beliau juga bersabda kpd orang yg mengeluhkan tentang kekerasan hatinya: “Jika engkau ingin melunakkan hatimu maka berilah makan pd orang miskin & usaplah kepala anak yatim.” (Hadis Riwayat: Ahmad)
  5. Sebagai penolak berbagai macam bencana & musibah.
  6. Orang yg berinfaq akan didoakan oleh malaikat setiap hari sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Tidaklah dating sesuatu hari kecuali akan turun 2 malaikat yg salah satunya mengatakan, “Ya, Allah berilah orang-orang yg berinfaq itu balasan, & yg lain mengatakan, “Ya, Allah berilah pd orang yg bakhil kebinasaan (hartanya).” (Muttafaq ‘alaihi)
  7. Orang yg membayar zakat akan Allah berkahi hartanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah shadaqah itu mengurangi harta.” (Hadis Riwayat: Muslim)
  8. Allah akan melipatgandakan pahala orang yg bersedekah, (Al Qur’an Surat: Al-Baqarah: 245)
  9. Shadaqah merupakan indikasi kebenaran iman seseorang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shadaqah merupakan bukti (keimanan).” (Hadis Riwayat: Muslim)
  10. Shadaqah merupakan pembersih harta & mensucikannya dari kotoran, sebagaimana wasiat beliau kpd para pedagang, “Wahai para pedagang sesungguhnya jual beli ini dicampuri dgn perbuatan sia-sia & sumpah oleh karena bersihkanlah ia dgn shadaqah.” (Hadis Riwayat: Ahmad, Nasai & Ibnu Majah juga disebutkan dalam Shahih Al-Jami’).
Inilah beberapa manfaat & faidah dari zakat, infaq, & shadaqah yg disebutkan dalam Al-Qur’an & Sunnah, kita memohon semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang yg senang berinfaq & bershadaqah serta menunaikan zakat dgn ikhlas karena mengharap wajah & keridhaan-Nya, amin ya rabbal ‘alamin.